Header Ads

Ternyata dulunya Davide Brivio wartawan paruh waktu diawal terjun ke dunia paddock balap motor

Keberhasilan Suzuki memastikan gelar juara dunia pembalap MotoGP 2020 lewat Joan Mir, Minggu (15/11/2020) lalu, tidak bisa dilepaskan dari peran besar Davide Brivio, Team Manager Suzuki Ecstar.


Davide Brivio adalah arsitek di balik keberhasilan Suzuki merebut gelar kampiun kelas utama Kejuaraan Dunia Balap Motor untuk kali pertama dalam 20 tahun terakhir. Keberhasilan Suzuki juga berkat peran besar dua pria asal Jepang, yakni Shinchi Sahara (team director) dan Ken Kawauchi (technical manager).

Namun
, Brivio paling disorot karena kepiawaiannya mencetak jawara MotoGP. Semua tahu, sebelum Mir, Brivio adalah aktor di balik kesuksesan Valentino Rossi bersama Yamaha di awal hingga pertengahan era 2000-an.

Dalam podcast MotoGP belum lama ini, Brivio mengaku kecintaannya terhadap motor dimulai sejak masih kanak-kanak. Namun, karena sepak bola jauh lebih digemari di lingkungannya, ia pun tidak memiliki banyak teman.

Ketertarikan Brivio awalnya adalah motocross. Ia pun mencari semua informasi tentang motocross dengan membeli majalah atau koran. Brivo kecil juga sering melihat para kroser Italia turun atau berlatih di sirkuit yang tak jauh dari rumahnya.

Brivio kecil juga bercita-cita ingin turun di balapan. “Saya sempat berpikir mencari sponsor dari perusahaan, lalu membeli motor dan berlomba. Tapi semua tidak pernah terjadi,” ucapnya.

Lokasi rumah Brivio yang dekat dengan pabrik motor Gilera membuatnya tertarik untuk mencari cara bagaimana agar rasa keingintahuannya terhadap motor bisa tersalurkan. Ditambah, saat itu Gilera memiliki tim motocross.

“Cerita ini sebetulnya agak lucu. Sekitar usia 14 atau 15 tahun, tidak lebih dari itu, saya mengirim surat kepada mereka (Gilera) menawarkan diri bekerja tidak digaji di tim balap mereka sebagai pembantu mekanik misal mengganti ban, mengisi bahan bakar, atau mencuci motor,” ujar Brivio.

Setelah Gilera memberikan jawaban menolak, Brivio tetap berusaha bagaimana cara agar bisa selalu dekat dan terlibat dengan olahraga motor.

“Saya juga mencoba ikut beberapa lomba motocross. Tapi, saya tidak cukup cepat. Dari situ saya berpikir tidak akan bisa menjadi pembalap, harus berpikir pekerjaan lain,” kata pria asal Italia itu.

Pekerjaan pertama Brivio adalah menjadi karyawan sebuah majalah motor yang tidak terlalu besar. Tugasnya mengikuti lomba-lomba motocross lokal di Italia dengan menulis artikel dan mengambil gambar (foto).

“Terlalu tinggi jika disebut wartawan. Mungkin, lebih tepat dibilang mirip,” ujar Brivio. “Saya bekerja di majalah itu hanya pada hari Minggu karena pada hari biasa saya ada pekerjaan. Di majalah itu memang hanya part time job tetapi menyenangkan.”

Dari pekerjaannya sebagai wartawan paruh waktu itu, Brivio menemukan hal-hal menarik yang tidak bisa ia temukan sebelumnya. Saat mewawancara narasumber, ia bisa bertanya semua hal yang ingin diketahuinya.

“Saya sempat mewawancarai Giovanni Castiglioni, pendiri Cagiva, yang saat itu hendak merayakan ulang tahun ke-10 (motor Cagiva didirikan pada 1978). Juga Giorgio Saporiti, perancang trek motocross terkemuka di Italia,” tutur Brivio.Dari wawancara dengan orang-orang seperti Castiglioni dan Saporiti itulah Brivio mengaku bisa tahu lebih banyak tentang olahraga balap, bahkan tidak hanya motocross.

Dalam tugasnya sebagai wartawan paruh waktu itulah, Brivio bertemu dengan salah satu sponsor pendukung Fabrizio Pirovano, pembalap Italia yang turun di Kejuaraan Dunia Superbike (WorldSBK).

Sponsor itulah yang meminta Brivio mengikuti Pirovano berlomba dan menuliskan laporannya. Itu terjadi sekitar tahun 1990.

“Mungkin, pekerjaan saya semacam press officer di tim-tim MotoGP saat ini. Itu pekerjaan yang sulit bagi saya karena harus menulis laporan dalam bahasa Inggris,” kata Brivio seraya tertawa.

“Saya masih ingat tugas pertama saya pergi ke Sirkuit Jerez De La Frontera di Spanyol. Bertemu pembalap di paddock mmbuat saya seperti anak kecil diajak ke Disneyland karena selama ini para pembalap WorldSBK itu hanya saya lihat di majalah atau koran.”

Keuletan Brivio bekerja, kepandaian, serta relasinya yang bagus di paddock membuatnya dipercaya menjalankan sebuah tim di WorldSBK, Belgarda Yamaha Racing Division, pada 1992.  

Colin Edwards, Scott Russell, dan Noriyuki Haga adalah beberapa pembalap yang pernah ditangani Brivio di WorldSBK.

Pada 2001, Brivio mengikuti Haga ke kelas utama Kejuaraan Dunia Balap Motor – saat itu masih 500 cc – karena Yamaha memintanya untuk membantu pembalap asal Jepang tersebut.

“Pada 2002, saya ditunjuk sebagai Team Director Marlboro Yamaha (seperti posisi Lin Jarvis di Yamaha saat ini), tim pabrikan Yamaha di MotoGP yang saat itu diperkuat pembalap Max Biaggi dan Carlos Checa,” ujar Brivio.

Brivio pun ternyata memiliki cara tersendiri bagaimana menangani pembalap dengan level bintang di MotoGP.

“Saat di MotoGP, saya banyak bertanya dan bicara dengan Fiorenzo Fanali. Ia mekanik yang pernah menangani Giacomo Agostini, Eddie Lawson, dan sejumlah pembalap top lain. Saya meminta info, nasihat, intinya saya ingin berkembang dan belajar dari mana saja,” kata Brivio.

Menjelang 2003, Yamaha memutuskan mengganti Biaggi dengan Marco Melandri. Sehingga, komposisi Fortuna Yamaha Team saat itu adalah Melandri dan Checa. Norifumi Abe di Yamaha Racing, Alex Barros dan Olivier Jacque di Gauloises Yamaha Team, dan Shinya Nakano di D’Antin Yamaha Team.

“Musim 2003 sangat buruk. Yamaha hanya mampu sekali naik podium lewat Alex Barros. Itu pun saat lintasan basah di Le Mans,” kata Brivio.


Sejak 2002, Brivio sebetulnya sudah berpikir bagaimana mendongkrak performa Yamaha. Ia ingat, pada 2005, Yamaha akan merayakan 50 tahun turun di kejuaraan dunia. Pabrikan asal Iwata, Jepang, itu pasti ingin sesuatu yang sangat besar.

“Dari situlah saya mulai memikirkan ide gila, mendatangkan Rossi dari Honda. Tapi, hampir mustahil Rossi meninggalkan Honda. Yamaha saat itu tidak kompetitif, sudah lebih dari 10 tahun tidak juara dunia,” ucap Brivio.

Bergabungnya Masao Furusawa ke Yamaha pada 2003 kian membuat Brivio dan Yamaha percaya diri bisa mendatangkan Rossi. Lewat proses negosiasi panjang dan alot, Yamaha akhirnya mampu memboyong Rossi.  

“Rossi membawa mentalitas pemenang ke Yamaha. Pendekatannya berbeda. Setiap race ia berpikir bagaimana menjadi yang terbaik. Tetapi di sisi lain, ia juga harus berpikir soal juara dunia,” kata Brivio.

Berkat tangan dingin Furusawa mendesain crossplane crankshaft untuk YZR-M1 dan mentalitas Rossi, Yamaha mampu merajai MotoGP di era pertengahan 2000-an.


Saat bergabung ke Suzuki, Brivio menilai mereka sudah kenyang pengalaman di balap. Musim ini mereka genap 60 tahun di balap.

“Waktu dipangggil Suzuki, saya masih bekerja di perusahaan pribadi Rossi. Suzuki waktu itu ingin reorganisasi tim. Suka pekerjaan ini karena tantangannya, meskipun sangat berat meninggalkan Rossi,” kata Brivio.

Suzuki, menurut Brivio, memulai semuanya dari kertas putih. Setelah mundur dari MotoGP pada akhir 2011, sekitar setahun setelahnya (akhir 2012), mereka mulai berkomunikasi dengan Brivio.


“Saya mulai kerja pada 2013. Tapi Suzuki bilang mereka tidak punya peralatan, truk, bengkel, dan sebagainya. Saya kaget tetapi menjadikan itu tantangan,” kata Brivio lagi.

Brivio pun menegaskan sepakat dengan filosofi Suzuki yang lebih memprioritaskan pembalap muda. Suzuki dan Brivio pun tahu, banyak pembalap yang akan pergi jika sudah matang. Tetapi, mendidik pembalap muda sangatlah sulit. Ditambah, Suzuki tidak memiliki tim satelit untuk menggembleng pembalap muda.


Proyek pembalap muda Suzuki ini sebetulnya dimulai saat merekrut Maverick Vinales. Saat it, ia baru setahun di Moto2 sehingga banyak yang bilang kami terlalu cepat.

“Setelah Vinales pergi, kami mengambil Alex Rins. Kami pun harus mengulang program dengan Rins. Setelah hasil dengan Rins bagus, kami merekrut Joan Mir. Ingat, ia baru empat tahun turun di Kejuaraan Dunia Balap Motor saat kami ambil (2019),” kata Brivio.Sumber:motorsport.com


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.